Ironi Apatisnya Anak Muda di Depok Saat Memilih Kepala Daerahnya Sendiri

4 min read

Pemuda Depok

Berita For4D – Sikap politik anak-anak muda di Kota Depok yang memilih menjadi golongan putih (golput) atau abstensi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) mengkhawatirkan. Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Kota Depok menilai bahwa muda-mudi di sana berpotensi untuk golput saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 mendatang.

“Sekarang itu begitu kan ya anak muda. Anak muda berpotensi untuk golput,” ujar Lienda usai sesi sosialisasi politik bagi pemilih pemula di SMA Kasih Depok, Rabu (8/11/2023).

Sayangnya antusiame ini berkebalikan dengan saat anak muda menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Pada 2020, tingkat partisipasi Pilkada Kota Depok tak setinggi Pemilu 2019.

“Pemilu 2019 kemarin kita sudah melampaui target partisipasi dari 77 persen, yaitu di angka 82 persen. Tetapi Pilkada 2020 golput agak tinggi, jadi tingkat partisipasi turun ke 62 persen,” kata dia. Ironi Direktur Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno menilai, salah satu penyebab Pilkada Depok tak diminati itu dipengaruhi oleh tingkat kesadaran dan tingkat pendidikan politik yang rendah.

“Ini tentu menjadi sesuatu yang sangat ironi karena Depok adalah kota yang berbatasan dengan Jakarta yang semestinya anak muda itu engage dan peduli dengan persoalan politik,” ucap Adi, dikutip Jumat (10/11/2023).

Adi menduga salah satu faktor anak muda tak tertarik untuk datang ke tempat pemungutan suara dan berpartisipasi dalam Pilkada Depok karena mereka apatis, tidak paham, dan tidak mengetahui informasi politik yang ada di sana. Di sisi lain, Adi menduga sikap apatis anak muda itu terjadi lantaran mereka terlampau tak suka karena Depok ditengarai menjadi salah satu kota yang dinilai tidak pernah melakukan perubahan yang signifikan.

BACA JUGA : Cekcok Urusan Ekonomi, Suami di Demak Aniaya Istri hingga Tewas, Korban Sempat Teriak “Tolong Jangan Bunuh”

“Mungkin, bagi mereka siapa pun yang jadi Wali Kota Depok ini membuat anak muda di Depok tetap pesimistis. Sehingga, bagi mereka Pilkada Depok itu tak penting,” ucap Adi.

“Mereka mungkin saja menganggap siapa pun yang terpilih tidak akan mampu memberikan sentuhan perubahan yang signifikan,” ucap Adi lagi.

Minim sosialisasi Sejumlah anak muda Depok menilai sosialisasi Pilkada Kota Depok 2024 masih belum terdengar gaungnya. Seorang pegawai bank bernama Ibnu (27) menduga hal itu terjadi lantaran masih ada sekitar satu tahun lagi sebelum Pilkada Kota Depok 2024 terselenggara pada November mendatang. Menurut dia, saat ini informasi yang berseliweran di media sosial ataupun media massa masih berfokus pada Pemilihan Presiden 2024.

“Sedangkan kalau Pilkada, saya sebagai warga Depok saja belum melihat atribut baliho dan lain sebagainya,” kata pria yang tinggal di Kelapa Dua itu kepada Kompas.com, Kamis (9/11/2023). Pendapat serupa juga disampaikan karyawan swasta bernama Lulu (26). Perempuan asli Sawangan ini menilai wajar jika materi Pilkada Kota Depok 2024 belum terdengar gaungnya.

“Mungkin informasi Pilpres juga sudah lebih banyak di sosmed. Terus kan pasangan capres-cawapres sudah ada,” kata dia.

Suara terbanyak untuk golput Kemenangan Mohammad Idris-Imam Budi Hartono dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Depok 2020 telah membuat PKS sukses menempatkan usungannya di kursi wali kota hingga empat periode. Idris-Imam menundukkan lawannya, Pradi Supriatna-Afifah Alia dengan perolehan suara 415.657 atau 55,54 persen. Namun, Idris-Imam itu sebetulnya tak memperoleh suara tertinggi.

Perolehan suara pasangan itu bisa dikatakan kalah oleh banyaknya jumlah orang yang memilih golput. Berdasarkan hasil penghitungan suara Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Depok pada 2020, ada 462.720 pemilih yang tidak datang ke TPS (tempat pemungutan suara (TPS). Jumlah itu belum memasukkan 29.391 suara tidak sah. Adapun jumlah pemilih total saat itu adalah 1.229.362 daftar pemilih tetap (DPT).

Hal serupa juga terjadi pada Pilkada Kota Depok 2015. Tingkat partisipasi pemilih dalam gelaran Pilkada Kota Depok 2015 pada 9 Desember 2015 lalu, ternyata hanya 56,86 persen saja. Atau dengan kata lain, pemilih yang tak menyalurkan hak politik secara benar atau golput 43,14 persen.

Bakal jemput bola Lienda berujar, tingginya persentase golput ini tidak lepas dari minimnya ketertarikan masyarakat terhadap proses demokrasi di Tanah Air. Karena itu, guna meminimalisasi golput saat Pilkada mendatang, Lienda menilai pemerintah perlu memberikan edukasi bagaimana menjadi pemilih yang cerdas.

“Sudah 17 tahun itu mereka punya hak pilih, kemudian juga mereka harus menjadi pemilih cerdas. Jangan sampai golput,” kata Lienda. Termasuk dengan jemput bola, mendatangi sekolah-sekolah menengah atas dan mensosialisasikan melek politik bagi para pemilih pemula. “Mudah-mudahan dengan banyaknya sosialisasi kita laksanakan mudah-mudahan bisa meningkatkan partisipasi mereka,” kata dia.

You May Also Like

More From Author

1 Comment

Add yours

+ Leave a Comment