Berita For4D – Peneliti Danny Hilman Natawidjaja menyebut hasil penelitian terbarunya soal Gunung Padang bakal mengubah sejarah bahwa peradaban di Indonesia sudah berkembang sebelum abad ke-4 Masehi. Sebab, menurut hasil penelitian Danny, Gunung Padang berpotensi menjadi piramida tertua di dunia. Itu mengapa dia berharap dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengungkap rahasia tersembunyi sekaligus peradaban kuno di situs misterius tersebut. Akan tetapi, arkeolog dari Jawa Barat, Dr Lutfi Yondri, menyebut kesimpulan itu mengada-ada karena hasil verifikasinya dan kajian literatur yang ada menyebutkan piramida tidak ada dalam lintasan budaya di Indonesia.
Seperti apa penelitian Gunung Padang?
Temuan terbaru dari penelitian yang dilakukan Danny Hilman Natawidjaja dan sejumlah ahli sebetulnya menguatkan kesimpulannya yang terdahulu bahwa Gunung Padang yang terletak di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, berpotensi menjadi piramida tertua di dunia. Bahkan situs tersebut kemungkinan berusia 10.000 tahun lebih tua dari Piramida Giza di Mesir dan Stonehenge yang terkenal di Inggris.
Dalam jurnal ilmiah Archaeological Prospection yang baru-baru ini terbit, tertulis bahwa dia beserta tim sudah melakukan survei terpadu di Gunung Padang selama tiga tahun, sejak November 2011 hingga Oktober 2014. Survei-survei itu di antaranya dengan melakukan pemetaan lanskap dan permukaan situs, pengeboran inti, pembuatan parit, dan teknik geofisika terpadu yang melibatkan metode Tomografi Resistivitas Listrik (ERT) dua dimensi serta tiga dimensi, juga Radar Tembus Tanah (GPR).
Kemudian operasi penggalian dimulai pada pertengahan tahun 2012 dengan sebagian besar pekerjaan dilakukan pada Agustus hingga September 2014. Untuk ‘parit’ yang digali, ukurannya bervariasi antara 1,2 meter sampai 3,9 meter dari permukaan dan kedalamannya mencapai antara 2 dan 4 meter.
“Penggalian parit dilakukan secara manual dengan menggunakan berbagai alat, antara lain sekop dan cangkul,” tulis Danny Hilman.
Sementara kegiatan pengeboran inti situs dilakukan untuk mengeksplorasi lapisan batuan yang lebih dalam.
“Untuk aktivitas ini kami menggunakan peralatan pengeboran Jacro 100 yang dilengkapi dengan mata bor berlian NQ berukuran diameter 2 inci dan inti barel 5 kaki.” Batuan dari inti situs tersebut, sambungnya, diteliti dengan analisis petrologi dan petrografi agar diketahui komposisi dan karakteristiknya.
Adapun sampel tanah organik diekstraksi secara hati-hati yang kemudian digunakan untuk analisis penanggalan karbon.
BACA JUGA : Ironi Apatisnya Anak Muda di Depok Saat Memilih Kepala Daerahnya Sendiri
“Intinya ingin menentukan umur Gunung Padang, karena tanah itu mengandung unsur organik yang bisa ditentukan unsur karbonnya yang berasosiasi dengan umur bangunan,” ujar Danny Hilman kepada BBC News Indonesia, Rabu (08/11). Bagaimana bentuk piramida Gunung Padang?
Situs Gunung Padang, kata Danny Hilman, bukanlah bukit alami melainkan konstruksi berbentuk piramida berlapis. Lapisan pertama yakni yang paling atas – yang dipenuhi tanah, tumbuh-tumbuhan, berusia 1.000 2.000 tahun sebelum Masehi. Lapisan kedua yang terdiri dari tumpukan pecahan batuan kolom dengan panjang hingga 1 meter, berusia 5.000 – 6.000 tahun sebelum Masehi. Lapisan ketiga atau yang tertua berusia 16.000 – 27.000 tahun sebelum Masehi.
“Di lapisan tiga ini terdiri dari batuan yang lapuk, tanah liat hingga butiran kerikil dan batuan vulkanik yang tidak teridentifikasi. Ada juga batuan yang mengandung batuan kolom yang sangat lapuk berbentuk pilar vertikal.”
Danny Hilman berkata, usia yang begitu lama pada lapisan terakhir memunculkan dugaan bahwa saat bangunan itu dibuat kemungkinan terjadi bencana yang berkaitan dengan banjir besar – atau kepunahan massal. Setelah bencana, sambungnya, lapisan kedua dibangun dengan menimbun terlebih dahulu konstruksi pertama. Di inti piramida, tim peneliti menemukan apa yang mereka gambarkan sebagai struktur batu lava yang “dipahat dengan cermat” dan “masif” yang terbuat dari andesit – sejenis batuan beku berbutir halus. Merujuk pada konstruksi dan pahatan bebatuan, tim peneliti meyakini situs ini sudah ada sejak Zaman Es periode terakhir.
“Temuan ini menantang keyakinan konvensional bahwa peradaban manusia dan pengembangan teknik konstruksi canggih muncul selama periode awal Holosen atau awal Neolitikum.” “Pembuat lapisan ketiga dan kedua di Gunung Padang pasti memiliki kemampuan tukang batu yang luar biasa – yang tidak sejalan dengan budaya pemburu dan peramu tradisional.”
Apa arti temuan ini?
Ahli geologi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional Indonesia (BRIN) ini mengatakan temuan tersebut punya arti luar biasa untuk sejarah Indonesia. Kalau selama ini pengetahuan peradaban Indonesia dimulai dari Kerajaan Kutai pada abad ke-4 Masehi, maka sesungguhnya peradaban sudah ada sebelum itu.
“Secara umum Indonesia seperti terbelakang, seperti anak bawang dibanding dengan India atau China yang sejarahnya lebih tua,” ucap Danny Hilman. Itu mengapa dia dan tim peneliti berharap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengungkap rahasia tersembunyi sekaligus peradaban kuno di situs misterius tersebut. Sebab meskipun situs ini sudah terkubur sekitar 9.000 tahun yang lalu, tapi orang-orang dari berbagai daerah kerap mendatangi lokasinya.
Temuan yang mengada-ada?
Arkeolog dari Jawa Barat Dr Lutfi Yondri tak sependapat dengan hasil penelitian Danny Hilman. Beberapa literatur menunjukkan Gunung Padang yang terletak di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, sebetulnya sudah diteliti dan ada dalam catatan yang dibuat oleh Verbeek pada tahun 1981 dan Krom pada 1914. Deskripsi awal dari dua catatan itu menggambarkan Gunung Padang sebagai kuburan kuno di atas gundukan tanah. Tetapi jejak kuburan itu tak ditemukan ketika dirinya melakukan penelitian yang dimuat dalam disertasi tahun 2016 silam.
Yondri menilai temuan bahwa Gunung Padang adalah piramida yang terkubur mengada-ada atau kesimpulan yang menduga-duga tanpa data yang sahih. “Pertanyaannya kalau piramida dikubur dalam Gunung Padang apakah pernah ada di Nusantara orang mengubur piramida di dalam gunung?” ungkap Dr Lutfi Yondri kepada BBC News Indonesia. “Kapan terjadinya orang mengubur piramida di dalam gunung?” “Berapa banyak material yang dibutuhkan untuk menimbun gunung? Itu bisa dijawab tidak?” Dia pun mempertanyakan sampel yang digunakan untuk penelitian tersebut. Di dunia arkeologi, kata dia, “sampel budaya” harus memiliki beberapa syarat: harus berada di satu matrik atau struktur yang sama, harus satu keletakan, satu asosiasi atau kumpulan, dan harus punya konteks.
Kemudian merujuk pada hasil penelitian yang telah dilakukan para ahli. Untuk konteks, dia menilai Indonesia tidak mempunyai kaitan budaya membuat piramida.
“Pernahkah Indonesia punya budaya piramida? Jangan diada-adain, yang ada di Nusantara punya punden berundak,” tegasnya. Punden berundak adalah susunan batu berbentuk meja yang digunakan untuk upacara pemujaan kepada leluhur. Dan punden berundak Gunung Padang difungsikan untuk ritual tersebut, sambungnya. “Jadi semua sampel itu harus diverifikasi, tidak bisa hanya prediksi atau persepsi. Persepsi pun harus didasarkan pada data-data sinkronik dan diakronik serta melihat lagi dalam lintasan budayanya.”
+ There are no comments
Add yours